Seperti apa masa 10 tahun yang lalu itu, dia masih mampu mengingatnya. Mengingat dengan sangat jelas seakan-akan hal itu baru terjadi kemarin. Kenangan itu mengikutinya, menghantuinya, membayanginya, meski dia bukan lagi sosok lemah seperti 10 tahun yang lalu. Dia tak berusaha untuk menghapusnya, karena kenangan itu adalah kenangan yang berharga untuknya, kenangan yang menempanya untuk menjadi sosok yang kuat seperti sekarang. Kenangan itu tetap ada dalam memorinya, karena bagaimanapun, dia akan tetap mencintai kenangan itu..
Padahal kenangan itu terlalu singkat..
Dia menghela napasnya berat setiap mengingatnya. Bukan karena menyesali apa yang telah terjadi, bukan karena membencinya atau menolak keberadaannya, tapi karena menyayangkan kenyataan bahwa itu hanya sebuah kenangan. Hanya sebuah kenangan. Seindah apapun kenangan itu..
.
.
.
15 Maret 2011
Dedaunan di halaman luar meranggas dengan cepat, lalu tertiup oleh angin musim gugur sehingga terlihat menari-nari di udara. Angin musim gugur memainkan daun itu lagi hingga terbang kesana kemari tanpa arah yang konstan.
Dia termangu melihatnya—bergeming. Kenangan itu berputar di kepalanya, seperti daun yang dipermainkan oleh angin musim gugur tadi. Tetapi, bedanya kenangan itu berputar pada satu arah yang jelas dan konstan. Menuju pada satu waktu yang tetap, pada sosok yang mengisi tiap kubik ruang di hatinya.
.
.
.
10 tahun yang lalu..
Masa-masa kelam adalah saat dimana kau berada dalam kegelapan, tanpa seberkas cahaya yang menerangi. Tetapi, hal itu berbeda dengan apa yang dialaminya. Dia berada pada masa kelam bukan harena kegelapan menelannya tanpa cahaya. Bukan. Dia berada di tengah kegelapan karena dia tak mau membuka matanya untuk menyadari keberadaan cahaya itu.
Dia kehilangan kedua orangtuanya dalam suatu kecelakaan. Sebuah kehilangan yang besar bagi seorang gadis remaja sepertinya. Namun, seperti kata orang-orang bijak, takdir tak mampu ditolak maupun direngkuh. Dia harus terus menjalani hidupnya tanpa menoleh ke belakang. Apalagi, dia masih memiliki seeorang yang berharga baginya. Seseorang yang lebih membutuhkan kasih sayang kedua orangtuanya bila dibandingkan dengan dirinya.
Dia tidak sendiri, itulah yang terpenting. Dia mampu melihat masa depannya, mengira-ngira, berandai, hingga masa depan itu seperti terpantul di hadapannya tanpa batas apapun. Hidupnya tak hampa meski tak ada lagi sosok kedua orangtua di sampingnya, karena ada sosok lain yang mampu menggantikan kekosongan itu dengan caranya sendiri. Hidupnya tak lagi hampa, sampai dia mengetahui kenyataan menyakitkan bahwa dia harus kehilangan orang itu—sosok itu.
“Kanker otak, stadium akhir…”
Kata-kata itu begitu menusuknya hingga dalam, namun dia kembali mengikhlaskan apa yang telah ditakdirkan begitu melihat senyum sosok itu. Senyuman yang begitu tulus, meski diselimuti oleh kulit pucat dan tertutupi oleh wajah pesakitan.
“Tak apa,” dengan lirih sosok itu membisikkannya sebuah frase yang penuh makna.
Dia hanya bisa menatap nanar sosok itu, dengan senyuman palsu yang terlanjur muncul dari sudut bibirnya.
“Aku ingin menjadi pilot,” dia tersentak mendengar perkataan sosok yang terbaring lemah di atas ranjang rumah sakit itu. Namun, gadis itu tak membantah perkataanya. Dia hanya tersenyum mengiyakan, karena keesokan harinya sosok itu kembali berangan-angan hal yang lain. Setiap hari, impiannya berganti. Jika waktunya di dunia ini masih lama, gadis itu yakin dia mampu menyebutkan seluruh profesi di dunia ini.
Namun hal itu tak mungkin terjadi, karena setelah dia menyebutkan impian ke 31-nya, dia meninggalkan dunia fana ini untuk selamanya.
Tidak, tidak selamanya, karena dia yakin, bahwa sosok itu tetap hidup di dalam kenangannya—kenangan mereka. Sosok itu akan terus hidup dalam hatinya sampai dia tak memiliki tenaga lagi untuk mengingatnya, sampai dia tak memiliki napas lagi untuk mengenangnya.
.
.
.
.
.
15 Maret 2011
Suara bening dan lembut sosok itu, menyapa telinganya yang sudah lama merindu.
“Apa kabar?”
Dia menarik sudut-sudut bibirnya, menciptakan sebuah senyuman tulus sebagai sebuah jawaban. Jawaban yang klasik.
“Sudah lama sekali tak bertemu. Aku kangen.”
“Aku juga,” dia menjawab singkat.
“Selama ini kemana saja?”
Dia menghela napas menatap pemandangan di hadapannya. Lalu memutuskan untuk duduk santai di bawah naungan pohon momiji yang tak henti menggugurkan daunnya.
“Mewujudkan banyak mimpi,” dia menjawab setelah merasa nyaman dengan posisi duduknya.
“Oh ya?” suara bening itu berkata sangsi,”mimpi yang mana? Kau tak pernah menceritakan mimpimu padaku.”
“Aku tak bilang bahwa aku mewujudkan mimpiku..,” sebuah senyum kembali merekah di wajahnya.
“Lalu, mimpi siapa?”
Dia beringsut mendekati lawan bicaranya.
“Tentu saja, mimpimu.”
Bersama-sama dengan detik dan menit yang bergulir di tempat itu, angin menghembuskan kehangatan padanya. Untuk sesaat, suara itu membisu, tak bersuara apalagi berkata-kata. Diapun memutuskan untuk diam. Hanya suara alam yang menguasai tempat itu untuk beberapa saat. Beberapa saat, hingga suara bening itu kembali menghancurkan kesunyian.
“Terima kasih, Kak.”
Dan untuk pertama kalinya, dia mampu melihat raut wajah bahagia dihadapannya. Tanpa kulit pucat yang menyelimuti, tanpa wajah pesakitan yang menutupi. Tanpa sadar, setetes air bergulir dari wajahnya—gadis itu. Dia sudah tak mampu membendung perasaannya lagi. Perasaan itu membuncah di dadanya, siap meledak kapan saja. Dan terbukti, karena perasaan itu mampu keluar, meledak, hanya dipicu oleh senyuman bahagia Sang adik. Senyuman teramat bahagia. Bukan senyuman seperti 10 tahun yang lalu.
Dia menghapus airmata dengan punggung tangannya. Sekarang, dia ingin menceritakan apa yang dilakukannya selama 10 tahun ini pada sosok adik laki-lakinya itu. Namun, dia tak mampu menyuarakan apa yang ingin dikatakannya.
“Kakak menjadi pilot-kah?”
Setetes air mata bergulir lagi di pipinya.
“Pesepakbola? Pemain piano? Pelukis?”
Dia menggeleng dengan berat.
Semua cita-cita itu terdengar hampa mengingat kanker otak yang menggerogoti hidup sang adik.
“Ilmuwan? Guru, ya?”
Dia bergeming. Tak ada satu cita-cita pun yang berarti untuk seorang manusia yang hanya memiliki waktu satu bulan lagi di dunia, pikirnya.
Suara bening itu terus terdengar. Namun dia tak mampu menjawab karena kerongkongannya tercekat.
“Bukan presiden, ya?”
Dia ingin berkata sesuatu namun suara itu mendahului.
“Apapun impian yang Kakak wujudkan, aku ikut bahagia..”
Dan sosoknya menghilang—melebur bersama angin musim gugur yang berhembus memainkan daun momiji ke angkasa.
Kring…
Suara ponsel membangunkannya dari alam mimpi yang bergelayut dalam pikirannya. Dia membuka flap ponsel itu dan mendekatkan ke telinganya.
“Halo? Ya. Apa? Pasien kanker lagi? Aku segera ke sana. Terima kasih.”
Dia bangkit dengan cepat setelah menutup flap ponselnya. Sebelum kakinya melangkah menjauhi tempat teduh itu, dia melirik sekilas ke arah gundukan tanah merah penuh hiasan bunga di bawah pohon. Dia tersenyum singkat, lalu menjauhi tempat itu sambil berbisik.
“Selamat tinggal, Adikku..”
.
.
.
THE END

ade bagus.......:'( huuu...kta2nya keren......
BalasHapusizin share kak
BalasHapusKeren bgt 👍 😢
BalasHapus